Dalam bulan-bulan ke depan
ini kita akan mengalami suatu masa, dimana kita akan diperhadapkan kepada
perilaku pilih dan memilih, dukung mendukung, saling berlomba, bersaing, meraih
pengikut sebanyak-banyaknya. Setiap rumah kita boleh jadi akan terpancang
bendera-bendera yang beraneka ragam, lalu kita berpakaian dengan beraneka warna
pula. Kita akan sering mengikuti pengerahan-pengerahan massa, bergerombol,
konvoi, saling unjuk kekuatan dan kebesaran. Inilah sebuah pesta demokrasi,
pagelaran politik untuk memilih anggota legislatif, wakil rakyat yang sangat
rentan dengan perpecahan.
Politik bukanlah sesuatu
yang terlarang dalam agama Islam. Politik atau dalam istilah Islam As-Siyaasah,
merupakan sesuatu yang dianjurkan sebagai legitimasi dalam mempermantap
mengembang amanat Allah sebagai khalifah fil ardh, mengatur dan
mengelola bumi ini. Islam mengatur keseluruhan aspek kehidupan manusia secara
utuh dan total, termasuk persoalan politik. Islam tidak hanya mengatur
persoalan ibadah semata, tapi juga mengajarkan bagaimana bermasyarakat,
berorganisasi dan berpolitik. Karena Islam menghendaki suatu masyarakat yang
konsisten dengan prinsip keadilan sosial, memiliki etika politik yang bersih.
Karena itu, harus
disadari oleh kita semua terutama para politisi, bahwa untuk berjuang menjadi
anggota legislatif maupun menduduki jabatan politik lainnya, janganlah
menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Janganlah mengadu domba
rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat jangan dianggap sebagai objek
yang bisa diatur sesuai ambisi. Berpolitiklah dengan cara-cara yang Islami,
santun, saling menghargai dalam perbedaan dan menjunjung tinggi keamanan dan
ketenteraman rakyat.
Islam menghendaki,
jabatan-jabatan politik jangan sampai diduduki oleh para politisi yang tidak
berpihak kepada Islam, yang ambisius, haus jabatan, lebih-lebih politisi yang
hanya berorientasi pada kekayaan, kehormatan ataupun bangga diri.
Berangkat dari harapan
di atas, ada baiknya para politisi bercermin pada 1 hadis dan 1 ayat Al-Qur’an,
sebagai berikut ;
1.
Sucikan Niat
Rasulullah Saw bersabda,
انما الأعمال بالنيات “sesungguhnya
segala amal itu tergantung niatnya”. Bila niat politik baik, dalam arti
memperjuangkan dan memberi manfaat bagi rakyat banyak, niscaya Allah akan memudahkan
segala urusan dan memberi pahala terhadap segala aktivitasnya. Namun bila
niatnya buruk, misalnya sekedar untuk mencari kedudukan dan segala
fasilitasnya, maka tunggulah kehancuran dan siksa Allah SWT.
2.
Dalam Al-Qur’an Surah
At-Taubah, ayat 128.
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îÍtã Ïmøn=tã $tB óOGÏYtã ëÈÌym Nà6øn=tæ úüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ Ô$râäu ÒOÏm§ .
Sungguh Telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Berdasarkan ayat ini,
politisi yang baik adalah politisi yang benar-benar merasakan penderitaan
rakyatnya. Dalam bahasa Al-Qur’an ’aziizun ‘alai maa ‘anittum, berat terasa
olehnya penderitaanmu. Bila rakyat menderita maka engkau pun menderita, rakyat
belum sejahtera, maka engkau pun enggan untuk sejahtera. Laksana figur Khalifah
Umar bin Khattab, yang belum mau memejamkan matanya bila beliau belum
memastikan rakyatnya telah benar-benar tertidur. Yang rela memikul gandum untuk
rakyatnya yang kelaparan.
Janganlah menjadi
politisi ingkar janji, yang ketika masih membutuhkan dukungan rakyat, berjanji
begini dan begitu, tetapi setelah keinginannya terpenuhi ia pun lupa diri,
terlena dengan berbagai kemegahan, rakyat pun terlupakan.
Nasihat Al-Qur’an
selanjutnya pada ayat di atas, harishun ‘alaikum bilmukminiiin, sangat
menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu. Politisi yang mulia adalah yang
memperjuangkan keimanan atau keyakinan, serta keselamatan rakyatnya. Semua
kebutuhan rakyat yang dapat menjerumuskan rakyat dalam kekufuran dan
kesesatan menjadi tanggung jawab yang ia perjuangkan. Jauhkan rakyat dari
kemiskinan karena itu, amat dekat dengan kekufuran. Buatlah aturan-aturan
yang dapat menghindarkan rakyat dari dosa dan maksiat.
Nasihat terakhir dari
ayat tersebut adalah, para politisi haruslah memiliki sifat “raufur rahim”,
belas kasih dan sayang terhadap orang-orang mukmin. Rasa kasih, sayang dan
cinta adalah modal segalanya. Bila politisi telah mengasihi, menyayangi atau
cinta kepada rakyatnya, maka dalam keadaan apapun atau dalam waktu kapan pun,
sama sekali dia tidak akan melupakan rakyatnya. Seperti Nabi yang begitu kasih
sayang kepada umatnya, hingga sampai detik-detik maut menjemputnya pun, yang
keluar dari mulutnya adalah ummatii, ummatii, ummatii, umatku, umatku,
umatku. Itulah kasih sayang atau cinta yang hakiki.
Terakhir, kepada seluruh
rakyat yang akan memilih, mari kita gunakan hak pilih kita secara benar dan
cerdas. Pilihlah wakil-wakil kita berdasarkan kriteria yang dikemukakan
Al-Qur’an. Hindari perpecahan, hindari perseteruan, jagalah persatuan dan
persaudaraan.
Wallahul Musta’aan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar